Wednesday, January 23, 2013

Lupe Jas Hujan Suku Sambori (Bima NTB)



      Pada umumnya Kerajinan tradisional adalah proses pembuatan atau pengadaan peralatan dan perlengkapan hidup mencakup pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, alat-alat transportasi dan lain sebagainya. Proses pembuatannya harus berpedoman pada nilai dan norma budaya, sebab semua perlengkapan hidup yang dibuat, merupakan salah satu unsur budaya.

Ketrampilan yang dimiliki oleh para pengrajin, diperoleh dari warisan leluhur, tanpa melalui pendidikan formal. Bermodalkan ketrampilan yanng dimiliki, mereka mampu membuat berbagai jenis barang, walau dengan peralatan yang sederhana. Bahan baku yang dibutuhkan, mudah diperoleh disekitar lingkungannya, antara lain Tumbuh-tumbuhan, Logam, Batu-batuan, tulang dan Kulit hewan dan sebagainya.

Kerajinan tradisional Mbojo kaya dengan jenis dan bentuknya. Bukan hanya tahan lama dan kuat, tetapi juga mengandung nilai seni budaya yang tinggi. Karena itu kerajinan tradisonal Mbojo harus dilestarikan oleh Pemerintah dan Masyarakat. Kalau usaha pelestarian dan pengembangan itu tidak segera dilaksanakan secara sungguh-sungguh, maka dikhawatirkan dalam waktu yang tidak lama, kerajinan tradisional Mbojo, akan dilupakan oleh masyarakat pemiliknya. Kekhawatiran itu cukup beralasan, melihat adanya kecenderungan masyarakat yang menganggap bahwa hasil kerajinan tradisional Mbojo, selain tidak bermutu juga sudah gersang dengan nilai seni.

Saya tertarik ketika menonton acara Runway Primitive Sambori di Trans TV pada jum’at malam 17 Desember 2010. Dalam rangkaian acara itu, seorang ibu warga Sambori mengenakan sebuah penutup kepala dari anyaman daun pandan yang menutupi kepala dan sebagian tubuhnya. Orang-orang Sambori dan suku Mbojo menyebutnya dengan Lupe. Lupe berbentuk lonjong, menutupi kepala dan badan yang berfungsi sebagai topi/payung sekaligus Jas Hujan. Yah, bisa dikatakan bahwa Lupe adalah Jas Hujan Tradisional masyarakat Mbojo tempo dulu terutama di wilayah Donggo Ele yang meliputi Kuta, Teta, Sambori, dan  Kaboro. Daun pandan gunung, berdaun lebar lagi panjang, seratnya kuat tidak mudah robek. Lupe sangat cocok bagi petani peternak atau pengembala yang sedang bekerja di sawah ladang dan padang nan luas.

Pada umumnya anyaman yang bahan bakunya Daun Pandan  (Bima : Ro’o Fanda), hasil anyaman pengrajin dari Donggo Ele (Donggo Timur) yaitu dari Desa Kuta, Sambori Kaboro dan Teta. Tetapi ada juga yang dianyam oleh masyarakat Mbojo yang bertempat tinggal di daerah dataran tinggi, seperti Desa Lela Mase (Kec. Rasanae Timur), dan beberapa desa di Kecamatan Wawo Kabupaten Bima. Pohon pandan dalam berbagai jenis bisa tumbuh subur di daerah Bima dan Dompu. Sebab itu persediaan bahan  baku untuk anyaman daun pandan tidak ada masalah.

Cara membuat Lupe tidaklah terlalu sulit bagi masyarakat Mbojo terutama masyarakat Sambori dan Sekitarnya. Daun Pandan yang telah diambil dari pohonnya dikeringkan lebih dulu, kemudian dianyam. Cara menganyamnya yaitu dengan menyilang daun pandan yang satu dengan daun pandan yang lainnya, dan hampir sama dengan mengayanyam Tikar Pandan atau Dipi Fanda. Yang membedakakanya adalah finishing dari Lupe yang menyerupai Topi atau payung. Dibutuhkan waktu satu hari untuk menganyam Lupe sampai menghasilkan anyaman Lupe yang siap untuk dikenakan terutama untuk melindungi diri dari hujan dan terik matarahari.

Lupe sangat unik. Ini adalah sebuah warisan leluhur masyarakat Mbojo yang perlu dilestarikan keberadaanya. Jika desa Tradisional Sambori itu betul-betul dikembangkan sebagai desa adat, maka Lupe dan komoditi lainnya dari desa ini sangat berpotensi sebagai salah satu souvenir atau oleh-oleh buat wisatawan yang berkunjung. Hal ini tentunya akan menggairahkan para pengrajin di wilayah ini untuk memproduksi lupe dan kerajinan ketrampilan lainnya untuk menopang perekonomian mereka.
(http://alanmalingi.wordpress.com)

0 comments:

Post a Comment