Pada umumnya Kerajinan tradisional adalah proses pembuatan
atau pengadaan peralatan dan perlengkapan hidup mencakup pakaian, perumahan,
alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, alat-alat transportasi dan
lain sebagainya. Proses pembuatannya harus berpedoman pada nilai dan norma
budaya, sebab semua perlengkapan hidup yang dibuat, merupakan salah satu unsur
budaya.
Ketrampilan yang dimiliki oleh para
pengrajin, diperoleh dari warisan leluhur, tanpa melalui pendidikan formal.
Bermodalkan ketrampilan yanng dimiliki, mereka mampu membuat berbagai jenis
barang, walau dengan peralatan yang sederhana. Bahan baku yang dibutuhkan,
mudah diperoleh disekitar lingkungannya, antara lain Tumbuh-tumbuhan, Logam,
Batu-batuan, tulang dan Kulit hewan dan sebagainya.
Kerajinan tradisional Mbojo kaya
dengan jenis dan bentuknya. Bukan hanya tahan lama dan kuat, tetapi juga
mengandung nilai seni budaya yang tinggi. Karena itu kerajinan tradisonal Mbojo
harus dilestarikan oleh Pemerintah dan Masyarakat. Kalau usaha pelestarian dan
pengembangan itu tidak segera dilaksanakan secara sungguh-sungguh, maka
dikhawatirkan dalam waktu yang tidak lama, kerajinan tradisional Mbojo, akan
dilupakan oleh masyarakat pemiliknya. Kekhawatiran itu cukup beralasan, melihat
adanya kecenderungan masyarakat yang menganggap bahwa hasil kerajinan
tradisional Mbojo, selain tidak bermutu juga sudah gersang dengan nilai seni.
Saya tertarik ketika menonton acara
Runway Primitive Sambori di Trans TV pada jum’at malam 17 Desember 2010. Dalam
rangkaian acara itu, seorang ibu warga Sambori mengenakan sebuah penutup kepala
dari anyaman daun pandan yang menutupi kepala dan sebagian tubuhnya.
Orang-orang Sambori dan suku Mbojo menyebutnya dengan Lupe. Lupe berbentuk
lonjong, menutupi kepala dan badan yang berfungsi sebagai topi/payung sekaligus
Jas Hujan. Yah, bisa dikatakan bahwa Lupe adalah Jas Hujan Tradisional
masyarakat Mbojo tempo dulu terutama di wilayah Donggo Ele yang meliputi Kuta,
Teta, Sambori, dan Kaboro. Daun pandan gunung, berdaun lebar lagi
panjang, seratnya kuat tidak mudah robek. Lupe sangat cocok bagi petani
peternak atau pengembala yang sedang bekerja di sawah ladang dan padang nan
luas.
Pada umumnya anyaman yang bahan
bakunya Daun Pandan (Bima : Ro’o Fanda), hasil anyaman pengrajin dari
Donggo Ele (Donggo Timur) yaitu dari Desa Kuta, Sambori Kaboro dan Teta. Tetapi
ada juga yang dianyam oleh masyarakat Mbojo yang bertempat tinggal di daerah
dataran tinggi, seperti Desa Lela Mase (Kec. Rasanae Timur), dan beberapa desa
di Kecamatan Wawo Kabupaten Bima. Pohon pandan dalam berbagai jenis bisa tumbuh
subur di daerah Bima dan Dompu. Sebab itu persediaan bahan baku untuk
anyaman daun pandan tidak ada masalah.
Cara membuat Lupe tidaklah terlalu
sulit bagi masyarakat Mbojo terutama masyarakat Sambori dan Sekitarnya. Daun
Pandan yang telah diambil dari pohonnya dikeringkan lebih dulu, kemudian
dianyam. Cara menganyamnya yaitu dengan menyilang daun pandan yang satu dengan
daun pandan yang lainnya, dan hampir sama dengan mengayanyam Tikar Pandan atau
Dipi Fanda. Yang membedakakanya adalah finishing dari Lupe yang menyerupai Topi
atau payung. Dibutuhkan waktu satu hari untuk menganyam Lupe sampai
menghasilkan anyaman Lupe yang siap untuk dikenakan terutama untuk melindungi
diri dari hujan dan terik matarahari.
Lupe sangat unik. Ini adalah sebuah
warisan leluhur masyarakat Mbojo yang perlu dilestarikan keberadaanya. Jika
desa Tradisional Sambori itu betul-betul dikembangkan sebagai desa adat, maka
Lupe dan komoditi lainnya dari desa ini sangat berpotensi sebagai salah satu
souvenir atau oleh-oleh buat wisatawan yang berkunjung. Hal ini tentunya akan
menggairahkan para pengrajin di wilayah ini untuk memproduksi lupe dan
kerajinan ketrampilan lainnya untuk menopang perekonomian mereka.
(http://alanmalingi.wordpress.com)
0 comments:
Post a Comment