Secara garis besar tarian tradisional Bima dibagi dalam dua kelompok yaitu Mpa’a Asi (Tarian Istana) dan Mpa’a Ari Mai Ba Asia tau tarian diluar Istana yang lazim dikenal dengan tarian rakyat. Pada masa lalu dua kelompok seni tari ini berjalan beriringan dan berkembang cukup baik.
Tari Istana dikelompokkan dalam dua
kategori sesuai jenis kelamin penarinya yaitu:
a. Tari Siwe (tari
perempuan), yaitu jenis tari yang dimainkan oleh para penari perempuan seperti lenggo
siwe (lenggo Mbojo), toja, lengsara, katubu dan karaenta.
b. Tari Mone (tari
laki-laki), yaitu jenis tari yang dimainkan oleh penari laki-laki, seperti
kanja, sere, soka, manca, lenggo mone (lenggo melayu) dan mpa’a sampari.
Sedangkan Tari Ari Mai Ba Asi (tari di luar pagar istana), dalam pengertian
tari rakyat, meliputi mpa’a sila, gantao dan buja kadanda. Semua jenis tari
dimainkan oleh penari laki-laki. Tidak ada jenis tari rakyat yang dimainkan
oleh penari perempuan. Selain itu, masih ada lagi jenis tari yang merupakan
perpaduan antara seni tari dan seni musik yaitu Jiki Hadra (Jikir hadrah),
dimainkan oleh para penari dan penyanyi laki-laki.
Nah, dilihat dari pembagian kelompok
di atas maka Tari Lenggo merupakan Tari Klasik Istana. Tarian ini ada dua yaitu
Lenggo Siwe(Lenggo Mbojo) dan Lenggo Mone(Lenggo Melayu). Tari Lenggo
Mbojo ini diciptakan oleh Sultan Abdul khair Sirajuddin,Sultan Bima kedua yang
memerintah pada tahun1640-1682 M. Abdul Khair Sirajuddin terkenal sebagai
seorang budayawan dan seniman selain sebagai panglima perang yang gagah berani.
Pada masanya perkembangan seni budaya islam berkembang pesat, terutama seni
tari, seni sastra, seni ukir dan arsitektur. Pada umumnya tari klasik Bima
selain ciptaan, juga merupakan hasil kreasi Abdul Khair Sirajuddin. Lenggo siwe
dimainkan oleh setengah pangka (enam Orang) penari putri, karena itu di
berinama lenggo siwe (lenggo putri). Kadang-kadang disebut “lenggo Mbojo”,
untuk membedakanya dengan jenis tari lenggo melayu (melayu) yang dimainkan oleh
penari pria (mone). Ciptaan para ulama melayu pada masa pemeintahan Sultan
Abdul Khair Sirajuddin. Kedua jenis lenggo itu lazimnya dipergelarkan
dalam satu kesatuan tari pada waktu yang sama dalam upacara UA PUA (sirih
puan), oleh karena itu diberinama lenggo UA PUA.
0 comments:
Post a Comment