SUKU SAMBORI

AKTOR DAN ARTIS ACARA TV PRIMITIF RUNAWAY BERSAMA MASYARAKAT SUKU SAMBORI BIMA NTB

HANTA UA PUA

LAPANGAN MERDEKA BIMA

MPA'A NTUMBU

KESENIAN TRADISI MASYARAKAT WAWO BIMA NTB

WARTAWAN

KAMPUNG HALAMANKU YANG MENJADI INVESTASI KAMU,DIA, DAN MEREKA

SUKU DONGGO

TARI KALERO PADA UPACARA KEMATIAN SUKU DONGGO BIMA NTB

Wednesday, January 23, 2013

HADRA (JIKI HADRA)




JIKI HADRA

      Jiki dalam bahasa Bahasa Indonesia berarti zikir. Zikir berasal dari bahasa Arab yang secara bahasa zikir berarti ingat. Zikir kepada Allah adalah membangun hubungan dengan Zat yang tiada terhingga dan tiada batas yang dirasakan sebagai mencintai dan dicintai Allah. (Rojaya, 2006: 22).

      Masyarakat Bima mengenal kegiatan kesenian yang mengandung warisan nilai-nilai islam ini dengan sebutan Jiki Hadra. Jiki Hadra adalah puji-pujian kepada Allah, Nabi dan Sahabat Nabi yang dinyanyikan sambil menari dengan iringan musik arubana (rebana) dalam prosesi Perkawinan, khitanan dan khatam Al-Quran masyarakat Bima. (M. Hilir Ismail, 2007: 08).

Pembuatan Tembe Nggoli (MUNA)



      Raba Dompu, Tembe ngoli merupakan Sarung khas masyarakat Bima pada umumnya, karena tembe ngoli mempunyai ciri khas dari pemakaiannya maupun cara pembuatannya. Tidak ada yang isitimewa dari pembuatan tembe ngoli, alat (tenunan) untuk Produksinyapun masih sama seperti Lombok dan Sumbawa. Akan tetapi mempunyai nilai budaya yang sangat tinggi dan mengakar pada Generasi penerus pembuat Tembe Ngoli (sarung khas Bima).

Kampung Naru Raba Dompu hanyalah kampung biasa seperti kampung-kampung lainnya yang berada di Kota Bima, tetapi di kampung Naru ini nilai menjaga Budaya mereka sangat kuat dan bertahan tidak dimakan oleh Zaman. Tradisi Muna Tembe Ngoli (menenun sarung) masih terus dipertahankan oleh mereka hingga ana cucu mereka, sepanjang pinggir sungai di Kampung naru itu di buat oleh warga sebagai tempat untuk membuat sarung tenunan khas Bima (tembe ngoli).

Turun temurun di kampung Naru bagi perempuannya wajib dan harus bisa menenun sarung, sejak mereka berumur 12 hingga 15 tahun diajarkan untuk membuat atau menenun sarung (tembe), sehingga nilai Budaya dan Tradisi mereka hingga sekarang masih terjaga. Di kampong Naru (Raba Dompu) setiap rumah wajib mempunyai perangkat alat tenun karena menenun merupakan sebagian Tradisi dan Prasarana untuk mereka mencari nafkah juga.

Bila diatas jam 9 pagi Ibu-ibu dan Remaja perempuan mulai melakukan aktifitas menenun sarung, sehingga banyak didengar suara kayu alat tenun (Haju loko mangge) saling berirama. Dengan diiringi alunan lagu-lagu Bahasa Bima dan Patu Mbojo (pantun Bima) yang keluar dari mulut Ibu-ibu pembuat Tembe Ngoli (sarung khas Bima).

Tembe Dan Rimpu Mbojo


Rimpu merupakan Salah satu budaya dalam dimensi busana pada masyarakat Bima (Dou Mbojo). budaya ”rimpu” yang telah hidup dan berkembang sejak masyarakat Bima itu ada. Rimpu merupakan cara berbusana yang mengandung nilai-nilai khas yang sejalan dengan kondisi daerah yang bernuansa Islam (Kesultanan atau Kerajaan Islam).

Rimpu adalah cara berbusana masyarakat Bima yang menggunakan sarung khas Bima. Rimpu merupakan rangkaian pakaian yang menggunakan dua lembar (dua ndo`o) sarung. Kedua sarung tersebut untuk bagian bawah dan bagian atas. Rimpu ini adalah pakaian yang diperuntukkan bagi kaum perempuan, sedangkan kaum lelakinya tidak memakai rimpu tetapi ”katente” (menggulungkan sarung di pinggang). Sarung yang dipakai ini dalam kalangan masyarakat Bima dikenal sebagai Tembe Nggoli (Sarung Songket). Kafa Mpida (Benang Kapas) yang dipintal sendiri melalui tenunan khas Bima yang dikenal dengan Muna. Sementara sarung songket memiliki beberapa motif yang indah. Motif-motif sarung songket tersebut meliputi nggusu waru (bunga bersudut delapan), weri (bersudut empat mirip kue wajik), wunta cengke (bunga cengkeh), kakando (rebung), bunga satako (bunga setangkai), sarung nggoli (yang bahan bakunya memakai benang rayon).

Secara garis besar jenis dan fungsi kain tenun dapat dibagi dalam empat kelompok yaitu, Tembe (Sarung), Sambolo (Destar), Weri (sejenis ikat pinggang) dan Baju Mbojo.

A. Tembe (Sarung)

Tembe merupakan barang unggulan yang dihasilkan oleh para penenun. Selain untuk diperjualkan oleh masyarakat lokal, juga menjadi salah satu jenis barang yang laris dalam perdagangan Nusantara, terutama pada era Kesultanan sampai dengan Tahun 1960-an. Berdasarkan jenis dan fungsinya Tembe dapat dibagi sebagai berikut:

1.    Tembe Songke (Sarung Songket)

Bahan baku Tembe termasuk motif pada umumnya didatangkan dari luar daerah. Pada masa Kesultanan para pedagang Mbojo, membeli benang untuk Tembe Songke dari Malaka (Malaysia) dan Dana Bara (Singapura). Selain itu  mereka membeli berbagai jenis kain dan asesoris untuk bahan baju adat.

Pada umumnya “Dana” (warna dasar) Tembe Songke berwarna merah hati, coklat dan hitam dengan motif garis-garis kecil dipadukan dengan motif Bunga Samobo, Bunga Satako, Pado Waji dan Kakando, diperindah dengan hiasan benang emas dan perak.

Fungsi utama Tembe Songke adalah untuk dipakai oleh kaum wanita ketika mengikuti upacara adat dan upacara keagamaan. Idealnya Tembe Songke tidak boleh dipakai dalam kehidupan sehari-hari.

2.    Tembe Kafa Na’e

Tembe Kafa Na’e (sarung dari benang besar) dalam pengertian, sarung yang ditenun dari benang asli dibuat oleh para penenun sendiri. Bukan benang berasal dari luar seperti Tembe Songke.

Berdasarkan motifnya, Tembe Kafa Na’e dapat dibagi dalam beberapa jenis :

a.    Tembe Bali Mpida

Bermotif garis-garis lurus kecil, yang akan membentuk kotak-kotak segi empat ukuran kecil. Karena itu Tembe Kafa Na’e diberi nama “Tembe Bali Mpida” (bermotif garis kecil). Warna dasar (Dana), ada yang hitam, coklat dan putih. Khusus “Tembe Sambea Kai” (sarung untuk sholat), harus berwarna dasar putih (Dana Lanta).

b.    Tembe Bali Lomba

Adalah Tembe Kafa Na’e yang motifnya berupa garis-garis lurus yang besar dan akan membentuk kotak-kotak yang besar pula. Dana (warna dasar) sama dengan warna dasar Tembe Bali Mpida.

c.    Tembe Me’e (Sarung Hitam)

Tembe Me’e termasuk jenis Tembe Kafa Na’e yang warna dasarnya Me’e (Hitam) tanpa motif. Sesuai dengan daerah atau Desa asal, Tembe Me’e terdiri dari tiga macam:

1.    Tembe Me’e Ntonggu, berasal dari Desa Ntonggu Kecamatan Palibelo.

2.    Tembe Me’e Wera, berasal dari Desa Nunggi Tawali dan Desa lain di Kecamatan Wera.

3.    Tembe Me’e Donggo, hasil tenunan kaum wanita Donggo Ipa di Kecamatan Donggo.

Warna me’e dibuat dari bahan lokal yaitu dari daun tumbuhan perdu yang oleh masyarakat disebut “Fu’u Dau” (Pohon Dau).

Jenis Tembe Kafa Na’e sudah langka, karena itu harganya mahal, terutama Tembe Me’e.

d.    Tembe Nggoli

Tembe Nggoli mulai dikenal oleh masyarakat sekitar Tahun 1970-an. Sebenarnya proses pembuatan serta motif dan warna dasar sama dengan Tembe Kafa Na’e. Yang membedakannya adalah benang yang dipergunakan. Kalau Tembe Kafa Na’e ditenun dari benang asli Mbojo, sedangkan Tembe Nggoli ditenun dari benang buatan pabrik, berbentuk gulungan oleh masyarakat benang itu disebut “Kafa Nggoli” (Benang Nggoli). Tembe yang bahan bakunya dari Kafa Nggoli populer dengan nama “Tembe Nggoli”.

B. Sambolo (Destar)

Sambolo sejenis ikat kepala tradisional Mbojo, untuk kaum laki-laki. Pada masa lalu merupakan hasil tenun unggulan setelah Tembe. Mulai usia remaja, kaum laki-laki wajib memakai Sambolo, bila tidak dianggap melanggar adat.

Warna dasar Sambolo hampir sama dengan Tembe Songke, ada merah hati, coklat dan kuning. Dipadukan dengan motif Bunga Satako, Pado Waji dan Kakando. Karena warna dan motif sambolo hampir sama dengan dengan Tembe Songke, maka dinamakan “Sambolo Songke”.

Sekitar Tahun 1950-an, muncul Sambolo jenis baru dibawa oleh para pedagang hewan (kuda) yang pulang dari Jawa Timur (Pasuruan, Probolinggo). Bahannya dari batik, cara memakainya sama dengan memakai blankon Jawa.  Sambolo motif Jawa itu oleh masyarakat diberi nama “Sambolo Bate” (Sambolo Batik). Tetapi kurang digemari oleh masyarakat lokal.

C. Weri  (Ikat Pinggang) dari Malanta Salolo

Ikat pinggang lokal Mbojo dengan warna kuning, merah hati atau coklat dengan motif Pado Waji, Kakando dan Bunga Satako.

Malanta Salolo, yaitu kain putih tanpa motif, ditenun khusus untuk bahan Salolo atau kain kafan.

D. Baju Mbojo

Sekitar tahun 1980-an, para penenun berhasil menambah koleksi hasil karya mereka, dengan menampilkan bahan baju, yang dikenal dengan “baju Mbojo”.

Bahan baju itu tetap tampil dengan warna dasar dan motif Mbojo, dikombinasikan dengan motif-motif baru yang tidak bertentangan dengan nilai dan norma adat. Warna merah tua, biru, coklat dan hijau tetap menjadi warna dasar. Dipadukan dengan Motif Bunga Samobo, Bunga Satako, Pado Waji dan Kakando sehingga produksi baru itu tetap berwajah Mbojo.

Kehadiran Baju Mbojo, mendapat sambutan positif dari masyarakat, terutama golongan menengah ke atas. Pemerintah Daerah menganjurkan kepada seluruh lapisan masyarakat agar mencintai Baju Mbojo. Sayang bagi masyarakat lapisan bawah, sulit untuk menikmati atau memakai Baju Mbojo, karena harganya cukup mahal, tidak terjangkau oleh penghasilan mereka yang pas-pasan. Faktor harga ini pula yang menyebabkan Baju Mbojo kalah bersaing dengan jenis baju yang harganya jauh lebih murah.(Mengenal Alat Tenun Bima-Dompu, M. Hilir Ismail dan Alan Malingi).